BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia
sebagai negara yang sedang membangun, ingin mencoba untuk dapat membangun
bangsa dan negaranya sendiri tanpa memperdulikan bantuan dari negara lain.
Tentu ini pernah dicoba. Namun ternyata Indonesia sulit untuk terus bertahan
ditengah derasnya laju globalisasi yang terus berkembang dengan cepat tanpa mau
menghiraukan bangsa yang lain yang masih membangun. Dalam kondisi seperti ini,
Indonesia akhirnya terpaksa mengikuti arus tersebut, mencoba untuk membuka diri
dengan berhubungan lebih akrab dengan bangsa lain demi menunjang pembangunan
bangsanya terutama dari sendi ekonomi nasionalnya. Menurut Boediono (1999:22),
pertumbuhan ekonomi merupakan tingkat pertambahan dari pendapatan nasional.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi merupakan sebagai proses kenaikan output
per kapita dalam jangka panjang dan merupakan ukuran keberhasilan pembangunan.
Indonesia sebenarnya pernah memiliki suatu kondisi perekonomian yang cukup
menjanjikan pada awal dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, pertumbuhan ekonomi
Indonesia sejak tahun 1986 sampai tahun 1989 terus mengalami peningkatan, yakni
masing-masing 5,9% di tahun 1986, kemudian 6,9% di tahun 1988 dan menjadi 7,5%
di tahun 1989. Namun pada tahun 1990 dan 1991 pertumbuhan ekonomi Indonesia
mencatat angka yang sama yakni sebesar 7,0%, kemudian tahun 1992, 1993, 1994,
1995, dan 1996, masing-masing tingkat pertumbuhan ekonominya adalah sebesar
6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%. Angka inflasi yang stabil, jumlah
pengangguran yang cukup rendah seiring dengan kondusifnya iklim investasi yang
ditandai dengan kesempatan kerja yang terus meningkat, angka kemiskinan yang
cukup berhasil ditekan, dan sebagainya. Namun, pada satu titik tertentu,
perekonomian Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan krisis ekonomi yang
melanda secara global di seluruh dunia. Ini ditandai dengan tingginya angka
inflasi, nilai kurs Rupiah yang terus melemah, tingginya angka pengangguran
seiring dengan kecilnya kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan semakin
membesarnya jumlah utang luar negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang semakin
melemah karena utang luar negeri Indonesia semuanya dalam bentuk US Dollar.
Adanya kerapuhan Indonesia tersebut disebabkan dengan tidak adanya dukungan
mikro ekonomi yang kuat. Permasalahan yang masih tidak dapat diselesaikan
sampai saat ini adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terlalu tinggi
di Indonesia, sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif, jiwa entrepreneurship
yang kurang, dan sebagainya (Anggito Abimanyu. 2000:8).
Meningkatnya
pertumbuhan investasi di Indonesia dimulai dengan ditetapkannya Undang-Undang
No.1 / tahun 1967 tentang penanaman modal asing (PMA) dan Undang-Undang No.6 /
tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri (PMDN). Dengan diberlakukannya
Undang-undang tersebut diharapkan dapat mendorong peningkatan investasi di
Indonesia dari waktu ke waktu yang kemudian menciptakan iklim investasi yang
kondusif selama proses pembangunan di Indonesia.
Arus masuk
modal asing (capital inflows) juga berperan dalam menutup gap devisa yang
ditimbulkan oleh defisit pada transaksi berjalan. Selain itu, masuknya modal
asing juga mampu menggerakkan kegiatan ekonomi yang lesu akibat kurangnya modal
(saving investment gap) bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Modal asing ini
selain sebagai perpindahan modal juga dapat memberikan kontribusi positif
melalui aliran industrialisasi dan modernisasi. Akan tetapi apabila modal asing
tersebut tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif yang besar
terutama apabila terjadinya capital flows reversal (Zulkarnaen Djamin, 1996:
26).
Seperti yang
telah dijelaskan di atas bahwa utang luar negeri turut mendukung terjadinya
krisis ekonomi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Pada dasarnya, dalam
proses pelaksanaan pembangunan ekonomi di negara berkembang seperti di
Indonesia, akumulasi utang luar negeri merupakan suatu gejala umum yang wajar.
Hal tersebut disebabkan tabungan dalam negeri yang rendah tidak memungkinkan
dilakukannya investasi yang memadai sehingga banyak pemerintah negara yang
sedang berkembang harus menarik dana dan pinjaman dari luar negeri. Selain itu,
defisit pada neraca perdagangan barang dan jasa yang tinggi berhubungan juga
dengan dilakukannya impor modal untuk menambah sumber daya keuangan dalam
negeri yang terbatas. Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya
aliran modal merupakan kesempatan yang bagus guna memperoleh pembiayaan
pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh
pemerintah Indonesia merupakan suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat
mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945,
sehingga untuk dapat mencapai tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan
pada pertumbuhan ekonomi. Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki
(tercermin pada tabungan nasional yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana
untuk pembangunaan ekonomi sangat besar. Maka cara untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi itu adalah dengan berusaha meningkatkan investasi. Pada pertengahan
dekade 1980-an, modal asing yang masuk ke Indonesia masih didominasi oleh
investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA) dan pinjaman luar negeri
(terutama pinjaman pemerintah). Baru setelah pemerintah melakukan deregulasi di
sektor keuangan/perbankan yang dimulai sejak awal 1980-an, yang antara lain
membuat sektor tersebut, termasuk pasar modal, berkembang dengan pesat, arus
modal swasta jangka pendek dari luar negeri mulai mengalir ke dalam negeri.